Seorang pemuda yang shalih mendatangi kami seraya
menyampaikan pertanyaan. Dia berniat menikah dengan seorang wanita berumur 40 tahun yang dita’arufkan kepadanya. Sang pemuda shalih ini baru berumur 23 tahun. Tapi, niatnya yang benar menggerakkannya untuk meyakinkan orang tuanya. Apa yang seharusnya dilakukan pemuda ini?
Yang paling utama dari semua usaha menuju pernikahan adalah niat. Niatilah secara tulus untuk menggapai ridha Allah Ta’ala dan menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berniatlah untuk menghasilkan keturunan shalih dan shalihah yang bisa meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Niatkanlah untuk membangun keluarga dakwah yang menyejahterakan manusia dengan mengajaknya menyembah kepada Allah Ta’ala.
Jika niat ini benar, yakinilah bahwa Allah Ta’ala hanya akan memberikan balasan terbaik. Sukarnya, niat lurus ini harus ada sejak sebelum menikah, ketika akad, dan setelah menjalani kehidupan rumah tangga. Bahkan, ketika pernikahan sudah berjalan sekian lamanya, memperbarui niat menjadi perkara penting agar ibadah itu bisa mengantarkannya menuju ketenangan, cinta yang senantiasa melimpah, dan kasih sayang yang tiada putus antara semua anggota keluarganya.
Berikutnya, lakukanlah upaya-upaya ikhtiari terkait teknis. Misalnya, ilmu, modal, perkiraan kehidupan setelah menikah, dan lain sebagainya. Hal ini amat penting dilakukan karena usia yang berbeda amat memungkinkan terjadinya perbedaan di bidang lain. Misalnya, apakah si wanita mau hamil ketika usianya lanjut? Bagaimana jika kelak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah? Dan lain sebagainya.
Hal kedua ini, sejatinya akan selesai jika dikembalikan kepada niat. Sebab, niat yang benar akan menuntun masing-masing pasangan dan anggota keluarganya untuk menyikapi seluruh persoalan dengan bijak sesuai syariat Allah Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Selanjutnya, libatkan keluarga besar untuk bermusyawarah. Bagi laki-laki, sejatinya tidak membutuhkan persetujuan keluarga karena dia tidak membutuhkan wali. Namun, ingatlah satu hal; menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, harus dibicarakan dengan baik agar semua keluarga menyepakati.
Jika tidak memungkinkan untuk menyepakati, sementara keyakinan sudah penuh, maka cukuplah mereka mengetahui rencana dan langkah yang akan Anda ambil. Percayalah, Anda cukup membuktikan kepada mereka bahwa jalan yang ditempuh adalah kebenaran. Jika keluarga sepakat, maka jalan yang ditempuh pun akan semakin mudah.
Terakhir, kembalilah menata hati terkait niat. Jangan sekali pun mengotori niat dengan embel-embel duniawi seperti cantik, keturunan, atau harta. Sebab, jika demikian, Anda pasti akan kecewa.
Sumber : keluargacinta.com
menyampaikan pertanyaan. Dia berniat menikah dengan seorang wanita berumur 40 tahun yang dita’arufkan kepadanya. Sang pemuda shalih ini baru berumur 23 tahun. Tapi, niatnya yang benar menggerakkannya untuk meyakinkan orang tuanya. Apa yang seharusnya dilakukan pemuda ini?
Yang paling utama dari semua usaha menuju pernikahan adalah niat. Niatilah secara tulus untuk menggapai ridha Allah Ta’ala dan menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berniatlah untuk menghasilkan keturunan shalih dan shalihah yang bisa meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Niatkanlah untuk membangun keluarga dakwah yang menyejahterakan manusia dengan mengajaknya menyembah kepada Allah Ta’ala.
Jika niat ini benar, yakinilah bahwa Allah Ta’ala hanya akan memberikan balasan terbaik. Sukarnya, niat lurus ini harus ada sejak sebelum menikah, ketika akad, dan setelah menjalani kehidupan rumah tangga. Bahkan, ketika pernikahan sudah berjalan sekian lamanya, memperbarui niat menjadi perkara penting agar ibadah itu bisa mengantarkannya menuju ketenangan, cinta yang senantiasa melimpah, dan kasih sayang yang tiada putus antara semua anggota keluarganya.
Berikutnya, lakukanlah upaya-upaya ikhtiari terkait teknis. Misalnya, ilmu, modal, perkiraan kehidupan setelah menikah, dan lain sebagainya. Hal ini amat penting dilakukan karena usia yang berbeda amat memungkinkan terjadinya perbedaan di bidang lain. Misalnya, apakah si wanita mau hamil ketika usianya lanjut? Bagaimana jika kelak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah? Dan lain sebagainya.
Hal kedua ini, sejatinya akan selesai jika dikembalikan kepada niat. Sebab, niat yang benar akan menuntun masing-masing pasangan dan anggota keluarganya untuk menyikapi seluruh persoalan dengan bijak sesuai syariat Allah Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Selanjutnya, libatkan keluarga besar untuk bermusyawarah. Bagi laki-laki, sejatinya tidak membutuhkan persetujuan keluarga karena dia tidak membutuhkan wali. Namun, ingatlah satu hal; menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, harus dibicarakan dengan baik agar semua keluarga menyepakati.
Jika tidak memungkinkan untuk menyepakati, sementara keyakinan sudah penuh, maka cukuplah mereka mengetahui rencana dan langkah yang akan Anda ambil. Percayalah, Anda cukup membuktikan kepada mereka bahwa jalan yang ditempuh adalah kebenaran. Jika keluarga sepakat, maka jalan yang ditempuh pun akan semakin mudah.
Terakhir, kembalilah menata hati terkait niat. Jangan sekali pun mengotori niat dengan embel-embel duniawi seperti cantik, keturunan, atau harta. Sebab, jika demikian, Anda pasti akan kecewa.
Sumber : keluargacinta.com