Betapa sebagian kita sudah menjadi orang yang benar-benar
melupakat hakikat diri sebagai seorang hamba. Kita ini lemah, tapi bersikap sombong, merasa besar, dan benar-benar tidak tahu diri. Bukan hanya di depan sesama makhluk, tapi justru melakukannya di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa atas segala-galanya.
Sebagian kita bertingkah pongah. Berdalih mencari hiburan lalu bebas memainkan alat musik atau mendengarkannya ketika muadzin memanggil melalui pengeras suara agar kita bergegas mendirikan shalat. Sebagian lainnya asyik dan sibuk melihat tayangan televisi sepanjang waktu hingga shalat di akhir waktu dengan dalih tanggung, terpotong iklan, dan dalih-dalih konyol lainnya.
Bukankah itu sebentuk kesombongan yang amat nyata? Bukankah apa yang mereka lakukan sama maknanya dengan, “Gak apa-apa. Shalat bisa ditunda. Shalat kan sepanjang hari. Film ini kan hanya lima belas episode. Besok juga habis. Lagi pula umur kita masih panjang. Besok juga bisa bertaubat.”
Astaghfirullah…
Semakin tidak bisa dimengerti, ketika kekonyolan itu semakin bertambah seiring berjalannya masa. Manusia benar-benar menjelma sebagai hamba yang sok berlaku sebagai tuhan dengan berjenis-jenis kebodohannya yang lapisannya kian bertambah.
Lantas di berbagai forum, dalam kesibukannya mendurhakai Allah Ta’ala, mereka dengan mudahnya mengatakan, “Semoga kita semua semakin diberkahi,” saat penyelenggaraan acara musik yang benar-benar mengganggu warga sekitar dan mengacaukan ritual shalat berjamaah karena kebisingan suara hingga adzan tida terdengar secara maksimal.
Dan kita benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kisahnya para pelaku itu berjingkrak-jingkrak di depan panggung ketika sang bintang menyanyikan sebuah lagu. Berjingkrak tanpa merasa bersalah. Berjoget tanpa merasa berdosa.
Bukan, bukan itu. Kalian tahu, kan? Kerudung itu masih melekat anggun di kepalanya. Mereka juga mengenakan rok, dan pakaian yang lumayan tertutup. Lalu, mengapa mereka berjingkrak tanpa merasa bersalah, bahkan senyumnya mengembang, teriakannya terdengar dalam radius puluhan meter.
Aku benar-benar tidak tahu. Benar-benar tidak paham. Apalagi di dalam kumpulan itu, ada begitu banyak sosok berpeci, berkali-kali haji, kiyai, pemuka agama, bahkan para guru yang seharsnya mendidik muridnya untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Oh ya, maaf. Mungkin saya yang salah. Mereka barangkali sudah terbiasa mengingat Allah Ta’ala, mengulang hafalan al-Qur’an, dan memikirkan banyak urusan umat sambil mendengarkan musik, berjoget gemulai, dan sorai pesta yang memekakan telinga.
Allah, ampuni kesalahan dan kelemahan kami. Aamiin.
Wallahu a’lam.
Sumber : Kisahikmah
melupakat hakikat diri sebagai seorang hamba. Kita ini lemah, tapi bersikap sombong, merasa besar, dan benar-benar tidak tahu diri. Bukan hanya di depan sesama makhluk, tapi justru melakukannya di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa atas segala-galanya.
Sebagian kita bertingkah pongah. Berdalih mencari hiburan lalu bebas memainkan alat musik atau mendengarkannya ketika muadzin memanggil melalui pengeras suara agar kita bergegas mendirikan shalat. Sebagian lainnya asyik dan sibuk melihat tayangan televisi sepanjang waktu hingga shalat di akhir waktu dengan dalih tanggung, terpotong iklan, dan dalih-dalih konyol lainnya.
Bukankah itu sebentuk kesombongan yang amat nyata? Bukankah apa yang mereka lakukan sama maknanya dengan, “Gak apa-apa. Shalat bisa ditunda. Shalat kan sepanjang hari. Film ini kan hanya lima belas episode. Besok juga habis. Lagi pula umur kita masih panjang. Besok juga bisa bertaubat.”
Astaghfirullah…
Semakin tidak bisa dimengerti, ketika kekonyolan itu semakin bertambah seiring berjalannya masa. Manusia benar-benar menjelma sebagai hamba yang sok berlaku sebagai tuhan dengan berjenis-jenis kebodohannya yang lapisannya kian bertambah.
Lantas di berbagai forum, dalam kesibukannya mendurhakai Allah Ta’ala, mereka dengan mudahnya mengatakan, “Semoga kita semua semakin diberkahi,” saat penyelenggaraan acara musik yang benar-benar mengganggu warga sekitar dan mengacaukan ritual shalat berjamaah karena kebisingan suara hingga adzan tida terdengar secara maksimal.
Dan kita benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kisahnya para pelaku itu berjingkrak-jingkrak di depan panggung ketika sang bintang menyanyikan sebuah lagu. Berjingkrak tanpa merasa bersalah. Berjoget tanpa merasa berdosa.
Bukan, bukan itu. Kalian tahu, kan? Kerudung itu masih melekat anggun di kepalanya. Mereka juga mengenakan rok, dan pakaian yang lumayan tertutup. Lalu, mengapa mereka berjingkrak tanpa merasa bersalah, bahkan senyumnya mengembang, teriakannya terdengar dalam radius puluhan meter.
Aku benar-benar tidak tahu. Benar-benar tidak paham. Apalagi di dalam kumpulan itu, ada begitu banyak sosok berpeci, berkali-kali haji, kiyai, pemuka agama, bahkan para guru yang seharsnya mendidik muridnya untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Oh ya, maaf. Mungkin saya yang salah. Mereka barangkali sudah terbiasa mengingat Allah Ta’ala, mengulang hafalan al-Qur’an, dan memikirkan banyak urusan umat sambil mendengarkan musik, berjoget gemulai, dan sorai pesta yang memekakan telinga.
Allah, ampuni kesalahan dan kelemahan kami. Aamiin.
Wallahu a’lam.
Sumber : Kisahikmah