Laki-laki ini dijuluki dengan al-Jud (murah hati). Selain piawai
membuat syair, laki-laki bernama asli Hatim al-Jawad ini juga terkenal dengan kedermawanannya. Saking dermawannya, bahkan anak-anak, istri, dan keluarganya sering mengalami kekurangan, meski tidak sampai pada tahap kesusahan.
Hatim juga merupakan sosok yang zuhud. Tidak pernah gila harta. Ia selalu membagikan harta kepada kerabat dan orang-orang yang membutuhkan. Tidak satu pun orang yang berkunjung untuk meminta, kecuali dia memberikan kepadanya sejumlah harta yang dia miliki.
Meski tak sempat mendapatkan hidayah, laki-laki ini benar-benar menjadi kebanggaan orang Makkah al-Mukarramah. Namanya abadi dalam puja dan puji. Harum. Sewangi bunga kesturi yang semerbak.
Bagai daun yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Hatim pun meninggalkan seorang anak yang dermawan. Anak pertamanya yang bernama Safanah ini tak kalah dermawannya dengan sang ayah. Suatu hari, ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengadukan perihal laki-laki yang paling berjasa dalam hidupnya itu.
“Sungguh, ayahku telah mengobati orang yang menderita, menjaga dari kerusakan, menghormati tamu, mengenyangkan orang yang sedang kelaparan, membebaskan persoalan orang yang bermasalah, menyebarkan salam, menghidangkan makanan, dan tidak sekali pun mengusir orang yang memiliki keperluan,” ujar Safanah binti Hatim ath-Tha’i.
“Wahai Jariyah,” balas Nabi kepada Safanah, “sesungguhnya ini adalah sebenar-benarnya sifat seorang mukmin. Jika saja bapakmu adalah orang Islam, tentulah kami akan mengasihinya. Wahai kaum Muslimin, biarkan dia. Sesungguhnya ayahnya mencintai akhlak yang mulia dan Allah Ta’ala menyukai akhlak yang mulia.”
Alangkah mulianya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau memberikan apresiasi kepada orang yang tidak beriman. Beliau memuji kemuliaan akhlak, sebagaimana Allah Ta’ala yang menyukai kemuliaan akhlak hamba-hamba-Nya.
Kemuliaan akhlak Nabi inilah yang menjadi salah satu jalan hingga Safanah memilih Islam sebagai agamanya. Safanah bersyahadat karena melihat pesona akhlak Nabi dan kedermawanannya. Lantaran menjadi saksi mata kebaikan Nabi, Safanah mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menjadi Muslim sebenarnya, yang beriman kepada Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
Sumber: Dialog Jumat Harian Umum Republika, Jumat, 8 Januari 2016.
membuat syair, laki-laki bernama asli Hatim al-Jawad ini juga terkenal dengan kedermawanannya. Saking dermawannya, bahkan anak-anak, istri, dan keluarganya sering mengalami kekurangan, meski tidak sampai pada tahap kesusahan.
Hatim juga merupakan sosok yang zuhud. Tidak pernah gila harta. Ia selalu membagikan harta kepada kerabat dan orang-orang yang membutuhkan. Tidak satu pun orang yang berkunjung untuk meminta, kecuali dia memberikan kepadanya sejumlah harta yang dia miliki.
Meski tak sempat mendapatkan hidayah, laki-laki ini benar-benar menjadi kebanggaan orang Makkah al-Mukarramah. Namanya abadi dalam puja dan puji. Harum. Sewangi bunga kesturi yang semerbak.
Bagai daun yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Hatim pun meninggalkan seorang anak yang dermawan. Anak pertamanya yang bernama Safanah ini tak kalah dermawannya dengan sang ayah. Suatu hari, ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengadukan perihal laki-laki yang paling berjasa dalam hidupnya itu.
“Sungguh, ayahku telah mengobati orang yang menderita, menjaga dari kerusakan, menghormati tamu, mengenyangkan orang yang sedang kelaparan, membebaskan persoalan orang yang bermasalah, menyebarkan salam, menghidangkan makanan, dan tidak sekali pun mengusir orang yang memiliki keperluan,” ujar Safanah binti Hatim ath-Tha’i.
“Wahai Jariyah,” balas Nabi kepada Safanah, “sesungguhnya ini adalah sebenar-benarnya sifat seorang mukmin. Jika saja bapakmu adalah orang Islam, tentulah kami akan mengasihinya. Wahai kaum Muslimin, biarkan dia. Sesungguhnya ayahnya mencintai akhlak yang mulia dan Allah Ta’ala menyukai akhlak yang mulia.”
Alangkah mulianya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau memberikan apresiasi kepada orang yang tidak beriman. Beliau memuji kemuliaan akhlak, sebagaimana Allah Ta’ala yang menyukai kemuliaan akhlak hamba-hamba-Nya.
Kemuliaan akhlak Nabi inilah yang menjadi salah satu jalan hingga Safanah memilih Islam sebagai agamanya. Safanah bersyahadat karena melihat pesona akhlak Nabi dan kedermawanannya. Lantaran menjadi saksi mata kebaikan Nabi, Safanah mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menjadi Muslim sebenarnya, yang beriman kepada Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
Sumber: Dialog Jumat Harian Umum Republika, Jumat, 8 Januari 2016.